BAG:1
"(Hari) berpuasa ialah hari ketika kalian semua berpuasa,
sedangkan (hari) berbuka puasa ialah hari ketika kalian semua berbuka
puasa, dan (hari) ber`idul Adha ialah hari ketika kalian semua berhari
raya Adha (melakukan penyembelihan binatang qurban)."
1 Takhrij hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh Tirmidzi.
Beliau (Tirmidzi) mengatakan, "Ini adalah hadits gharib
hasan." Saya (Al-Albani) katakan, "Isnadnya jayyid
(bagus) semua perawinya tsiqah (terpercaya).
Seungguhnya ada sebuah hadits yang diriwayatkan secara mauquf
(sanadnya terhenti pada) ‘Aisyah yang dikeluarkan oleh Al-Baihaqi
melalui jalan Abu Hanifah, ia mengatakan, "Ali bin Al-Aqmar
telah menceritakan sebuah hadits kepadaku, dari Masruq, ia mengatakan,
Saya datang menemui ‘Aisyah pada hari Arafah, lalu ia mengatakan:
"Buatlah adonan gandum untuk Masruq dan perbanyaklah rasa
manisnya". Masruq mengatakan lagi: Saya kemudian berkata
(kepada Aisyah): "Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku
untuk berpuasa hari ini melainkan kekhawatiranku bahwa hari ini adalah
hari nahr (hari raya penyembelihan binatang qurban)". Maka
Aisyah berkata:
"Hari nahr adalah hari ketika orang-orang merayakan nahr
(hari raya penyembelihan bina tang qurban/Idul Adha), dan hari berbuka
puasa adalah hari ketika orang-orang berbuka puasa".
Saya (al-Albani) katakan bahwa: Riwayat ini sanadnya bagus
dengan dukungan riwayat sebelumnya.
2 Fiqih Hadits
Imam Tirmidzi, sesudah (memaparkan) hadits di atas (hadits
pada judul pembahasan di atas, pen), mengatakan:
"Sebagian ahli ilmu (Ulama) mengatakan dalam menafsirkan
hadits ini (bahwa): Yang dimaksud dengan berpuasa dan berbuka puasa
(dalam hadits) ini hanyalah (dilakukan) bersamasama dengan jama’ah
(kelompok umat) dan bersama-sama dengan mayoritas manusia".
Di sisi lain, Imam Shana’ani mengatakan :
"Di dalam hadits itu terdapat dalil bahwa teranggapnya ketetapan
hari led (hari raya) adalah jika beresuaian dengan kesepakatan orang
(banyak). Bahwa orang yang sendirian saja mengatahui hari ‘led berdasarkan
ru’yah (melihat hilal bulan Syawal), wajib baginya untuk menyesuai
kan diri dengan orang lain.
Ketentuan hukum orang banyak dalam hal (kapan) melakukan shalat ‘led,
berbuka puasa (berhari raya) dan ber-’Iedul Adha, mengharuskan orang
yang sendirian ini untuk mengikutinya."
Ibnul Qoyim juga menyebutkan perkataan yang maknanya senada
dengan perkataan di atas. Beliau mengatakan:
Ada (sementara kalangan Ulama) yang mengatakan bahwa dalam hadits
itu terdapat bantahan terhadap orang yang menyatakan bahwa:
"Sesungguhnya orang yang mengetahui terbitnya bulan berdasarkan
perkiraan hisab, boleh baginya untuk berpuasa dan untuk berbuka puasa
(berhari raya), tetapi tidak boleh bagi yang tidak mange tahuinya."
Ada pula yang mengatakan:
"Sesungguhnya apabila ada satu orang saksi yang melihat hilal
(bulan) sedangkan Qadhi tidak memutuskan hukum (untuk mulai berpuasa)
berdasarkan kesaksiannya, maka tidak ada ketetapan baginya untuk berpuasa,
sebagaimana tidak pula ada ketetapan bagi manusia banyak untuk berpuasa".
BAG:2
Selanjutnya syaikh Al-Bani menjelaskan lebih lanjut mengenai fiqh hadits tersebut dengan membawakan atsar dari sahabat yang sangat jelas. Lalu bagaimana jika orang yang memang faham dengan ilmu falak? Simak nasihat berharga beliau kepada kaum muslimin agar tidak berpuasa dan berhari raya bersama-sama dengan orang banyak.
Abu al-Hasan as-Sindi dalam Hasyiyah (syarah/penjelasan ringan)nya
terhadap (kitab) Ibnu Majah, sesudah menyebutkan hadits Abu Hurairah
yang terdapat dalam riwayat Tirmidzi mengatakan:
"Yang tampak nyata tentang makna hadits itu ialah bahwa orang-perorangan
secara individual tidak boleh campur tangan dalam (memutuskan) persoalan-persoalan
(kapan mulai berpuasa dan kapan mulai berbuka puasa) ini, tidak boleh
pula bagi orang-perorangan untuk menyendiri dalam (pelaksanaan) perkara-perkara
ini.
Tetapi persoalannya harus diserahkan kepada Imam (pemimpin negara)
dan jama’ah. Kemudian bagi masing-masing individu wajib mengikuti
(keputusan) Imam serta jama’ah (dalam hal berpuasa ini).
Dengan demikian, apabila seseorang melihat hilal (permulaan bulan
Ramadhan / syawal), namun Imam menolak kesaksian nya, maka seyogyanya
tidak ada ketetapan lagi baginya untuk melakukan sesuatu berkaitan
dengan persoalan-persoalan (seperti) ini, dan wajib baginya untuk
mengikuti jama’ah (orang banyak) dalam hal ini."
Saya (al-Albani) katakan:
"Makna (di atas) itulah makna yang langsung dapat difahami
dari hadits. Ini didukung oleh pernyataan ‘Aisyah yang berhujjah dengan
hadits (yang senada dengan) itu terhadap Masruq ketika ia tidak mau
berpuasa pada hari Arafah lantaran khawatir (sebab ia menduga) jika
hari itu adalah hari raya Qurban. Maka pada saat itu ‘Aisyah menjelaskan
bahwa pendapat pribadinya tidak terpakai dan ia harus mengikuti orang
banyak. (Ketika itu) Aisyah berkata :
"Hari nahr (hari raya penyembelihan binatang qurban/Adha)
ialah hari ketika orang-orang (banyak) merayakan nahr (hari raya penyembelihan
binatang qurban), dan hari berbuka puasa (‘Iedul Fitri) ialah hari
ketika orang-orang berbuka puasa".
Saya (al-Albani) katakan (lagi): "Inilah dia yang selaras
dengan syari’at (Islam) yang samhah (lapang dan luwes), yang
di antara tujuannya adalah menghimpun dan menyatukan barisan umat
Islam, serta menjuhkannya dari segala pendapat pribadi yang dapat
memecah belah kesatuan mereka.
Karenanya, syari’at tidak mempedulikan pendapat pribadi (sekalipun
menurut pribadi itu pendapatnya benar) dalam kaitannya dengan ibadah
jama’iyah (ibadah yang dilakukan secara bersama-sama), semisal puasa
(Ramadhan), penentuan hari Ied (hari raya) dan shalat jama’ah.
Tidakkah anda memperhatikan bahwa para sahabat (tetap) melaksanakan
shalat berjama’ah, sebagiannya bermakmum kepada sebagian yang lain,
padahal di antara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh perempuan,
menyentuh anggota badan tertentu, dan keluar darah (dari anggota badan)nya
termasuk pembatal-pembatal wudhu’, sementara sebagian di antaranya
tidak berpendapat demikian. Sebagian sahabat juga ada yang tetap melaksanakan
shalat sempurna dalam safar(bepergian), sedangkan sebagian lainnya
menqashar shalatnya?.
Ternyata perselisihan pendapat mereka tentang hal di atas dan perselisihan-perselisihan
pendapat dalam hal-hal lainnya tidak menghalangi mereka untuk bersatu
dalam shalat di belakang satu orang Imam dan mengaggap hal itu (sebagai
suatu keharusan).
Ini semua karena mereka memahami bahwa perpecahan dalam agama lebih
buruk daripada perselisihan dalam pendapat. Bahkan sebagian sahabat
ada yang sampai tidak mau menganggap sama sekali pendapat yang menyelisihi
kebijaksanaan Imam besar dalam suatu perkumpulan (shalat) yang akbar
seperti (perkumpulan shalat) di Mina.
Bahkan sampai pada tingkat tidak sudi sama sekali melaksanakan pendapat
pribadi (yang menyelisihi Imam besar) seperti dalam event (shalat
jama’ah) terbesar tersebut, sebagai upaya untuk lari dari natijah
(hasil) buruk yang dimungkinkan akibat melak sanakan pendapat (pribadi).
Abu Dawud meriwayatkan 1/307, bahwa Utsman melakukan shalat
empat raka’at (maksudnya shalat Dhuhur/ Asar, pen) di Mina. Abdullah
bin Mas’ud mengingkari apa yang dilakukan Utsman seraya mengatakan:
"Saya shalat bersama Nabi dua raka’at (maksudnya, shalat
empat raka’at diqashar menjadi dua raka’at. -pen.), bersama Abu Bakar
juga dua raka’at, bersama Umar juga dua raka’at, dan kemudian bersama
Utsman di pertengahan masa keamirannya, ia menyempurnakan shalatnya
(menjadi empat raka’at), setelah itu pelbagai jalan (manhaj) telah
memecah belah kamu semua. Sungguh saya ingin jika saya melakukan shalat
empat raka’at, itu terdiri dari dua raka’at – dua raka’at (jama’ -
gashar)".
Namun ternyata kemudian (Abdullah) bin Mas’ud melaksanakan shalat
(di Mina) empat raka’at (seperti dilakukan Utsman). Karena itulah,
maka kemudian ada orang yang berkata kepadanya, "Engkau mencela
(tidak suka) tindakan Utsman, tetapi engkau sendiri melakukan shalat
empa raka’at?!" Ibnu Mas’ud menjawab, "Berselisih
itu buruk" (Sanad riwayat ini shahih).
Imam Ahmad juga meriwayatkan hal yang senada V/155 dari Abu
Dzar Radhiyallahu Anhum Ajma’in.
Akhirnya, orang-orang yang masih berselisih dalam persoalan shalatnya,
dan tidak mau mengikuti (shalat) bersama sebagian
Imam Masjid, terutama pada saat shalat witir di bulan Ramadhan
dengan alasan imam-imam itu berbeda madzhab dengannya, hendaknya mau
merenungkan hadits serta atsar di atas.
Begitu pula orang-orang yang mengaku tahu ilmu falak yang kemudian
(memulai) berpuasa dan (memulai) berhari raya secara sendirian saja
dengan mendahului atau membelakangi ketetapan (mayoritas) jama’ah
kaum Muslimin (pemerintah -red. vbaitullah), karena bersandar kepada
pendapat dan pengetahuan pribadinya, tanpa peduli bahwa mereka (dalam
hal ini) sebenarnya telah keluar dari jama’ah kaum Muslimin.
Sekali lagi, hendaknya mereka semua merenungkan ilmu yang telah kami
sebutkan di atas. Semoga dengan demikan mereka mendapatkan obat (yang
bisa menyembuhkan) kebodohan dan ketidak sadaran mereka, sehingga
karenanya mereka menjadi satu barisan kembali dengan saudara-saudaranya
kaum Muslimin yang lain. (Sesungguhnya tangan Allah ad di atas jama’ah.
-Red).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar