Selasa, 08 Mei 2012

Pola Pemberdayaan Zakat, Infak dan Sadaqah Berbasis Masjid


Pola Pemberdayaan Zakat, Infak dan Sadaqah Berbasis Masjid

By. Idris Parakkasi



 
     A.       Pendahuluan

Umat Islam meyakini, bahwa zakat adalah pilar ketiga dari lima pilar agama Islam. Sebagai sebuah pilar, keberadaannya merupakan sesuatu yang harus ada dan harus dilakukan oleh umat Islam. Islam memandang, bahwa pentingnya zakat untuk ditunaikan tidak lebih kecil dibandingkan dengan keharusan menjalankan ajaran-jaran Islam yang lain. Bahkan, dengan dimasukkannya sebagai salah satu dari pilar Islam yang lima ini (Hadis Rasulullah tentang rukun Islam) menunjukkan bahwa ajaran zakat merupakan ajaran kunci bagi umat Islam.
Zakat adalah institusi pemberdaya masyarakat yang ditopang oleh nilai-nilai spiritualitas. Spiritualitas yang ada di belakang zakat semestinya memberikan inspirasi keihlasan bagi orang-orang Islam yang mempunyai harta berlebih untuk memberdayakan orang-orang yang secara ekonomi tidak diuntungkan. Dari sini akan muncul social responsiblity  dari masyarakat mampu terhadap masyarakat kurang mampu. Maka, zakat akan memiliki dampak besar bagi kesejahteraan umat. Pesan-pesan agama bagi kesejahteraan umat akan benar-benar terwujud.
Akan tetapi, seolah bertentangan dengan gagasan idealnya, pengaruh zakat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat belum banyak bisa dirasakan. Zakat hanyalah sebatas kewajiban rutin yang seolah tanpa semangat pemberdayaan, sehingga belum mampu menjadi salah satu instrumen pemberdayaan masyarakat yang benar-benar efektif. Idealitas ajaran zakat sebagaimana yang kami singgung di depan hanya ada dalam teori yang jauh dari realitas.[1]
Kondisi tersebut tentunya mengundang tanya bagi umat Islam umumnya, dan para pemerhati zakat pada khususnya. Sebenarnya apa yang salah dengan pengelolaan zakat oleh umat Islam Indonesia saat ini? Tulisan ini mencoba ingin mendiskusikan beberapa hal yang terkait dengan problematika pengelolaan zakat. Beberapa hal yang layak untuk mendapatkan perhatian dan menjadi fokus tulisan ini diantaranya; pertama reorientasi terhadap pemahaman epistimologi zakat; yaitu berusaha untuk mendiskusikan bilamana kewajiban zakat diperintahkan. Preseden sejarah pada masa formulasi Islam perlu dihadirkan untuk melihat semangat zakat ketika itu. Dari pembahasan ini diharapkan ditemukan semangat zakat sebagai sebuah institusi keagamaan yang tidak hanya sekedar mementingkan pembayarannya si kaya, namun semangat pembebasan di balik kewajiban tersebut.
Kedua, Reorieantasi terhadap pengelolaan zakat. Sudah umum diketahui bahwa saat ini pengelolaan zakat seolah kehilangan rohnya. zakat dikelola hanya dengan mengedepankan aspek keharusan seorang individu membayarnya, tanpa dibarengi cara yang paling tepat (baca: sistem pengelolaan) agar dana zakat menjadi efektif sebagai sebuah instrumen pemberdayaan umat. Sehingga tidak mengherankan, jika saat ini zakat hanya bersifat konsumtif yang menyebabkan si mustahik tetap sulit membebaskan diri dari keterpurukannya. Di samping ada ”kesalahan” dalam sistem pengelolaannya, juga patut dipertanyakan ulang tentang lembaga amil yang berfungsi sebagai lembaga yang paling bertanggungjawab terhadap pengumpulan dan penyaluran zakat. Saat ini masih banyak terjadi di masyarakat bahwa pengertian amil adalah sekumpulan orang-orang yang diangkat oleh masyarakat sebagai sekelompok panitia zakat yang mempunyai daya gerak yang sangat sempit. Sebagai sebuah panitia, mereka tidak memiliki program kerja, tidak memiliki target-target tertentu, tidak memiliki sistem yang mengatur mekanisme kerjanya dan lain-lain. Untuk itulah, seiring dengan dinamika zaman, perlu dilakukan dekonstruksi terhadap keberadaan amil yang tidak efektif seperti diatas.
Ketiga, Reorientasi Harta zakat; tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa  kurang maksimalnya penarikan dana zakat banyak dipengaruhi oleh pendapat bahwa zakat hanya diberlakukan untuk harta-harta tertentu, dengan alasan tidak terbahasnya kewajiban zakat terhadap harta-harta yang diperoleh dengan cara kontemporer dalam kitab-kitab klasik. Padahal justru saat ini, harta - harta yang diperoleh dengan cara kontemporer ini justru jauh lebih besar potensinya. Maka, sudah selayaknya jika zakat dikenakan terhadap segala bentuk kekayaan yang memiliki nilai tambah, agar zakat tidak terkesan sebagai sekedar uluran tangan orang yang telah memiliki sejumlah harta tertentu.

Saat ini, dari 6.710.719.000 jiwa penduduk bumi, 228.523.300 jiwa diantaranya hidup di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia tersebut merupakan ke-4 terbanyak setelah jumlah penduduk Cina, Amerika Serikat, dan India. Jadi secara populasi, Indonesia merupakan Negara ke-4 terbesar di dunia. Dari jumlah penduduk Indonesia di atas, 88% diantaranya adalah penduduk muslim. Dengan asumsi jumlah penduduk per rumah tangga adalah 3,7 orang, maka diperkirakan jumlah rumah tangga muslim saat ini adalah 52.828.649 rumah tangga. Pada saat yang sama, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret tahun 2009 berjumlah 31,29 juta jiwa. Secara proporsional, angka mayoritas jumlah penduduk muslim sekaligus mewakili jumlah penduduk miskin di Indonesia. Data diatas seutuhnya diutarakan oleh “Tuan Rumah” sendiri, artinya data diatas dibuat oleh lembaga dalam negeri, yang mungkin hasilnya bisa dipesan dan diperintahkan oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk dijadikan dalih kinerja mereka yang membanggakan. Hal ini dikarenakan data kemiskinan bangsa Indonesia menurut World Bank  (Bank Dunia) sangat berbeda drastis dengan BPS, World Bank menyebutkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia mencapai 114 Juta jiwa (65 persen dari keseluruhan penduduk negeri ini). Dan ini terjadi selisih 81,47 juta jiwa antara data BPS dengan Bank Dunia. Merujuk data diatas, tidak dielakkan lagi bahwa angka kemiskinan bangsa ini sangatlah tinggi, sungguh ironis dengan potensi Sumber Daya yang di milki bangsa ini. Lantas bukan berarti diam dan berpangku tangan untuk menunggu semuanya kepada suatu yang diingingkan bersama. Begitupun pemerintah (sebagai regulator), mereka di sana bergerak meluncurkan berbagai program peredam untuk menstabilkan pertumbuhan ekonomi, dari Biaya Langsung Tunai (BLT) bagi kaum miskin yang sifatnya karitatif sampai insentif stimulus bagi orang kaya yang sifatnya produktif. Akan tetapi hasil yang didapat seringkali tidak sesuai dengan yang diharapkan, nyatanya tingkat kemiskinan masih tinggi yang pada akhirnya masyarakat masih “enggan” mendapatkan kesejahteraan. Melirik dari fenomena diatas, haruslah muncul suatu strategi/konsep yang keluar dari masrakat itu sendiri. Istilah pemberdayaan yang senantiasa menjadi jargon untuk suatu tindakan yang berbasisi sektor riil dirasa tepat dalam mengejawantahkan tindakan yang mampu dilakukan oleh masyarakat. Bentuk pemberdayaan masyrarakat yang ideal seutuhnya adalah skema pemberdayaan yang didasarkan pada tatanan nilai/norma dalam suatu komunitas, yang itu semua dapat dibentuk dalam suatu lingkungan yang tepat (Catur : 2008).  Dan masjid (sebagai suatu lingkungan yang tepat) mampu diijadikan basis dalam melakukan pemberdayaan masyarakat (umat) untuk mengikis atau mengurangi jumlah tingkat kemiskinan kaum muslimin di Indonesia. Mengapa harus Masjid?  Mungkin menjadi sutu pertanyaan besar mengapa harus masjid?  Masjid senantiasa identik dengan kaum muslimin, dan kita tahu hampir 90% masyarakat  negara ini Beragama Islam,  maka tidak aneh secara kuantitas tidak bisa dielakkan lagi kalau jumlah masjid di Indonesia sangatlah banyak.  Menurut data Depag pada tahun 2008,  jumlah masjid di Indonesia mencapai 1 juta 7 ratus ribu, itu pun mungkin belum terhitung dengan musholla-musholla kecil lainnya.  Kuantitas yang banyak ini mampu menggerakkan masyarakat dalam suatu strategi pemberdayaan mikro (memberikan lapangan pekerjaan, memberikan modal) sampai pada suatu tujuan makro (yaitu memperkecil skala kemiskinan dalam perekonomian bangsa Indonesia ini). Selanjutnya dengan berkaca pada sejarah nabi Muhammad SAW bahwa masjid menjadi suatu basis pergerakkan dalam segala bidang, mencakup bidang pendidikan, keagamaan, sosial, politik, dan bahkan ekonomi.  Menyinggung dari fakta sejarah diatas, dikhususkan peranan masjid dalam bidang ekonomi, sepertinya mampu ditiru dan nantinya diterapkan dalam instrument yang disesuaikan dengan kondisi/situasi umat (masyarakat) pada saat ini.  
B.     Permasalahan
1.      Sejauh mana peranan lembaga-lembaga pemberdayaan yang sudah ada
2.      Bagaimana model yang paling ideal untuk diterapkan
C.    Pembahasan
1.      Sejauh mana peranan lembaga-lembaga pemberdayaan yang sudah ada
A.       Peranan BMT (Baitul Maal wa Tamwil) .
Jika diinventarisir tidak sedikit diantara masjid yang memilki koperasi atau BMT sebagai basis pendapatan dana untuk kemakmuran masjid pada mulanya. Akan tetapi seiring berjalannya waktu dengan diiringi permasalahan ekonomi yang kian menguat, telah banyak BMT atau koperasi yang dikelola masjid ini melakukan ekspansi pasar dengan menyalurkan dana kepada masyarakat. Akan tetapi sayangnya hal ini belum dapat dilaksanakan dengan kinerja yang jujur, akuntabel, professional, dan proporsional sehingga yang terjadi adalah kebangkrutan satu per satu dari koperasi atau BMT yang ada di masjid tersebut. Sehingga pihak pemberi modal ex : lembaga keuangan perbankan dan non bank masih sedikit menyalurkan dalan untuk mereka koperasi atau BMT yang bergerak di suatu masjid. Padahal sesungguhnya terdapat segmentasi pasti yang terbungkus dalam kantong kemiskinan yang sangat memerlukan dana tersebut.
B.        Peranan  LAZ (Lembaga Amil Zakat)
Wacana tentang zakat sebagai alat redistribusi kekayaan dalam pengentasan kemiskinan umat sesungguhnya belum dapat dijalankan secara maksimal.  Hal ini dapat dilihat pada data yang terjadi dengan hitung-hitungan asumsi semestinya,  dan juga dapat dilihat pada LAZ (lembaga Amil Zakat) dalam sekup kecil, bahwa seutuhnya belum tercapai keinginan bersama tentang pengelolaan zakat yang efektif, efisien, dan akuntabel. Efektif dalam hal ini zakat yang diberikan sesuai atau tidak segmentasi objeknya,  sehingga yang terjadi bukan korban jiwa atau memecah kerukunan. Akan tetapi pengentasan kemiskinan yang sedikit demi sedikit bisa teratasi, dengan asumsi bahwa yang hari ini mendapatkan zakat (Mustahik) besok hari dia sebagai Muzakki (orang yang member i  zakat). Masjid dalam hal ini pasti memilki LAZ (lembaga Amil Zakat) yang bertugas untuk menyalurkan dana zakat yang dipercayakan pada lembaga masjid tersebut, keberadaan masjid yang berdekatan dengan kondisi dan situasi masyarakat seyogyanya tahu tentang kebutuhan dan prosfek dana tersebut. Harapan terbesar ke depan dari proses ini adalah pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan
C. Lembaga Pendampingan oleh RISMA (Remaja Masjid)
Pendampingan kepada masyarakat merupakan salah satu instrument penting dalam menggerakkan masyarakat menjadi lebih baik. Pemberian motivasi, pembekalan keterampilan, dan pengawasan kinerja merupakan beberapa hal yang bisa dilakukan dalam proses pendampingan ini. tiga langkah diatas sesungguhnya telah banyak dilakukan oleh beberapa masjid. Hal ini dilakukan karena masjid memiliki posisi yang strategis (terutama tahu pasti tentang keadaan masyarakat sekitar),  sehingga tepat jikalau masjid tidak hanya dijadikan sebagai tempat dalam peribadahan yang mahdoh saja, tapi lebih dalam dari itu dijadikan tempat dalam permberdayaan masyarakat. 
2.         Bagaimana Model Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid
Masjid merupakan tempat orang berkumpul melakukan sholat secara berjamaah, dan meningkatkan solidaritas serta silaturrahmi di antara sesama kaum muslim. Di masa-masa kejayaan Islam, masjid bukan saja menjadi tempat sholat, tetapi menjadi pusat kegiatan kaum muslim seperti pemerintahan, ideologi, politik, ekonomi, sosial, peradilan, dan kemiliteran.
Masjid juga berfungsi sebagai pusat pengembangan kebudayaan Islam seperti diskusi, mengaji, dan memperdalam ilmu-ilmu pengetahuan agama serta pengetahuan umum. Namun, sudahkah peran dan fungsi masjid dapat kita hadirkan untuk menjawab tantangan umat masa kini? Menurut catatan Departemen Agama, terdapat sekitar 700.000 buah masjid yang tersebar di tanah air. Bila setiap masjid dapat membuka lapangan pekerjaan dan memperkerjakan rata-rata 200 orang per tahun, maka akan ada 140 juta orang yang lepas dari pengangguran per tahunnya. Sudah saatnya institusi masjid menambah perannya sebagai basis pendidikan moral masyarakat yang didorong menjadi basis pengembangan ekonomi masyarakat agar memungkinkan masyarakat memperoleh pendapatan secara lebih halal dan berkah. Setiap pengelola masjid, didorong untuk menyusun sebuah proposal pengembangan ekonomi masyarakat sekitar dengan didukung oleh BAZ dan LAZ dari aspek pendanaan. Tentu saja, pengelolaan secara transparan dan professional, merupakan prasyarat berjalannya idealisme ini secara berkelanjutan. Kita patut bersedih dengan jumlah masjid yang besar, tetapi lembaga wakaf dan zakat sebagai sumber pendanaannya, masih berjalan sendiri-sendiri. Belum lagi, setiap lembaga ingin menonjolkan dirinya sendiri, menambah rumitnya masalah masyarakat.
C.1. Fungsi Masjid
Pertama, kondisi riil yang sering membuat kita terkejut dengan fenomena keterlantaran masjid yang selalu menanti uluran tangan. Benarkah asumsi bahwa masjid adalah Rumah Allah itu kemudian menjadikan masjid justru tidak berdaya lantaran manusia yang lepas tangan? Dalam bagian ini, pembaca juga akan menemukan makna masjid yang sesungguhnya, masalah-masalah yang dihadapi dan bagaimana pula masjid dalam lintasan sejarah Islam. Gagasan yang disampaikan pada bab ini meliputi keprihatinan mendalam jika memperbandingkan fungsi masjid pada zaman Rasulullah dengan masa sekarang. Ada apa dengan kita? 
Kedua, masjid adalah sistem sosial Islam. Bagaimanapun, karena berhubungan dengan kebutuhan spiritual dan ekspresi keagamaan, masjid kemudian menjadi salah satu instrumen sosial dalam kehidupan umat Islam. Oleh karenanya, masjid sebagai salah satu pranata sosial Islam lebih ditekankan pada ketimpangan yang terjadi antara fungsi masjid yang seharusnya dengan apa yang terjadi senyatanya. 
Ketiga, Jika dilihat dari fungsi masjid itu sendiri, paling tidak, kita akan menemukan fungsi-fungsi masjid ada 7 (tujuh) fungsi antara lain; sebagai tempat shalat, sebagai tempat untuk menjalankan fungsi sosial-kemasyarakatan, fungsi politik, fungsi pendidikan, fungsi ekonomi dan fungsi pengembangan seni dan budaya yang bernuansa Islam.  
Keempat, masjid pada zaman sekarang, dapat dikategorikan—bukan didasarkan pada pengkelasan—berdasarkan pada wilayah lingkungan masjid. Diantara beberapa kategori masjid itu ialah; masjid di pusat kota, masjid instansi pemerintah, masjid kampus, masjid pedesaan, masjid di pusat kegiatan ekonomi dan masjid wisata. Masing-masing masjid ini memiliki peluang untuk dikelola secara profesional berdasarkan ukuran-ukuran yang ada dan bersifat khas antara yang satu dengan lainnya. 
Kelima, manajemen masjid diartikan sebagai pengelolaan masjid dengan menerapkan berbagai fungsi manajemen dan serangkaian aktivitas manajemen dalam lingkup masjid. Oleh karenanya, sub pembahasannya pun terdiri dari organisasi dan manajemen masjid yang bertutur tentang apa, bagaimana dan untuk apa penerapan manajemen masjid. Kemudian, sebagai lembaga keagamaan yang terorganisir, masjid juga membutuhkan mekanisme administrasi yang mempersyaratkan adanya tata kerja yang profesional dan terarah. Salah satu contoh sederhana dikemukakan pada sub pembahasan selanjutnya, misalnya bagaimana memanajemeni imam, khatib dan muadzin, dari segi ekonomi misalnya bagaimana menggerakkan koperasi berbasis jamaah masjid. Tidak ketinggalan, sebagai proses manajemen, dalam masjid yang dikelola dengan baik, semestinya dibangun pola hubungan dengan lembaga luar sehingga tercipta sebuah kerjasama yang menguntungkan. 
Keenam, ketika manajemen telah diaplikasikan dalam masjid secara baik, tentunya kita dapat membebaskan masjid dari keterlantaran. Islam sangat memperhatikan kesejahteraan umat, pemberdayaan umat, khususnya dalam bidang ekonomi. Hal ini dapat ditempuh melalui masjid sebagai salah satu instrumen pembangun ekonomi umat Islam dengan menyediakan kesempatan setiap umat atau jamaah untuk ikut andil dalam aktivitas ekonomi berbasis masjid. 
Ketujuh, jika kita kembali pada makna “ta’mir masjid” sebagai bagian dari tugas umat Islam yang pada hakikatnya mengandung dua dimensi; tawhîd dan amal shaleh. Bukan semata profesionalisme, apalagi untuk kepentingan komersial, justru dalam pandangan penulis ta’mir masjid juga berarti ta’mir ummah, dan dalam kerangka inilah Islam muncul dalam karakter rahmatan lî al-‘âlamîn.
Menyimak firman  Allah dalam surat At-Taubah:18 di atas juga dalam ayat lain (seperti memakai pakaian indah untuk memasuki masjid (QS. A’raaf:31), bertebaran kemuka bumi mencari karunia Allah setelah shalat; (QS. Al-Jumu’ah:10) dan begitu banyak ayat yang merangkaikan perintah shalat dengan membayar zakat),  Selayaknya dimaknai sebagai tugas kita bersama untuk tidak saja memakmurkan masjid tetapi juga memakmurkan jamaah masjid.
Tugas seperti ini tentu saja tidak bisa dilakukan sambilan apalagi di saat umur sudah udzur dan tantangan ekonomi yang sangat kompetitif.
Di sisi lain masjid sesungguhnya mempunyai fungsi dan peranan yang “unik”, pada masa Rasulullah semua fungsi kehidupan baik ibadah maupun muamalah dilaksanakan di masjid, penegasan agar orang senantiasa ke masjid paling tidak untuk shalat berjamaah di awal waktu sangat banyak. (pahala berlipat, langkah ke masjid menghapus dosa dan mengangkat derajat dan sebagainya). Kesadaran berjamaah tersebut juga sangat khas karena dilandasi prinsip ukhuwah (QS. Al-Hujurat:10), persamaan derajat (Al-Hujurat:13), Imamah dan akhlakul karimah.
Secara umum, walaupun belum berfungsi secara optimal masjid merupakan basis penting untuk pengelolaan zakat dengan beberapa alasan, yaitu :
  • Lokasinya berada disekitar masyarakat dan dimiliki oleh masyarakat
  • Jejaring relatif lebih mudah dibentuk.
  • Dengan adanya data jamaah, kelompok masyarakat yang menjadi sasaran jelas. (baik muzaki maupun mustahik)
  • Sumber dana dan alokasi dana oleh karenanya dapat dilakukan secara transparan.

Oleh karena pengelolaan zakat adalah tugas syariah yang khusus. Hal ini penting agar pesan syariah sebagaimana dipesankan banyak ayat dan telah dicontohkan Rasul serta para sahabat dapat dirasakan juga keberhasilannya. Ayat Allah dalam al-Qur’an surat Al-A’raaf : 156 “…… Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami". rasanya sangat penting untuk memperkuat tekad kita dalam memakmurkan masjid dan jamaah masjid.
Keterkaitan pengelolaan zakat dengan pengembangan instrumen keuangan lain seperti BMT dan lembaga keuangan lain sangatlah penting. Zakat selain dimanfaatkan untuk konsumtif sebagaimana diamanatkan oleh QS. At-Taubah : 60, juga untuk kepentingan yang sama dapat dilakukan produktif khususnya untuk asnaf miskin. Orang-orang miskin yang mempunyai kemampuan usaha atau telah mempunyai usaha kecil tetapi tidak punya agunan untuk berhubungan dengan lembaga keuangan dapat bekerjasama dengan lembaga pengelola zakat pada tahap awal, dan apabila telah berkembang usahanya dapat meneruskan hubungan bisnis tersebut dengan BMT atau BPRS. Jejaring ini selayaknya dapat bersinergi sampai ke jamaah masjid untuk memberikan akses seluas-luasnya, apalagi apabila ada dukungan pemerintah untuk program pengentasan kemiskinan.

C.2.  Masjid Sebagai Jejaring Zakat
Dengan demikian, masjid memiliki peran yang strategis sebagai komunitas zakat (BAZ/LAZ).  Namun saat ini, masih rendahnya perolehan zakat pada badan amil zakat antara lain dipengaruhi masih belum optimalnya peran sosial masjid, padahal masjid memiliki dua peran, yakni sebagai tempat beribadah dan silaturahim serta pengumpulan zakat.
Untuk itu, diperlukan empat langkah untuk dapat menaikkan perolehan zakat berbasis masjid, yakni;
Pertama, sosialisasi kepada masyarakat bahwa pembayaran pajak seperti yang dipraktekkan di zaman Khulafaur Rasyidin dikelola oleh petugas amil.
Kedua, penguatan kelembagaan terkait petugas amil zakat yang lebih amanah dan kredibel dalam mengelola zakat.
Ketiga, pendayagunaan sumberdaya yang ada, dan
Keempat, sinergi antara semua komponen baik masyarakat, pemerintah maupun pihak lainnya.
           Dalam pengembangan masjid sebagai komunitas zakat, diperlukan pemetaan masjid dan potensinya di tengah masyarakat. Masjid yang berlokasi di daerah perumahan yang mayoritas penduduknya bekerja pada sektor jasa, akan memiliki potensi yang berbeda dengan mesjid yang berlokasi di wilayah yang didiami oleh mayoritas petani atau nelayan. Analisis yang tepat akan menggiring pada pemilihan aktivitas ekonomi yang tepat.
Selama ini, memang banyak faktor yang mempengaruhi belum optimalisasi peran masjid sebagai komunitas zakat/(BAZ, LAZ, UPZ). Salah satu penyebab adalah  paradigma umat yang memandang fungsi masjid terpisah dari dinamika kehidupan sehari-hari. Selain itu adalah karena kegiatan masjid itu sendiri yang belum dikelola secara baik dan profesional seiring dengan kebutuhan jamaah dan masyarakat di sekitarnya.
Oleh karena itu, perlu upaya menyadarkan dan menggerakkan umat agar kembali ke masjid harus dilakukan simultan dengan pembenahan manajemen masjid itu sendiri. Dewasa ini gerakan kembali ke masjid dapat dijuga dimaknai sebagai upaya peningkatan kesejahteraan umat berbasis masjid. Kegiatan pemberdayaan ekonomi umat berbasis masjid dapat diwujudkan seperti pembentukan koperasi masjid, pelayanan zakat, pelayanan kesehatan bagi jamaah yang tidak mampu, dan pemberdayaan aset masjid sebagai wakaf produktif yang semuanya itu perlu dikelola  secara baik.
Pada sisi lain, masjid merupakan ruh dari gerakan dakwah. Dakwah tidak semata-mata memberikan ceramah dan pengajian saja, tapi juga mewujudkan solusi Islam terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi umatnya. Dalam kerangka ini kita baru dapat merasakan peran masjid sebagai pusat ibadah dan sentral solusi masalah kehidupan umat.
Peran ideal masjid seperti digambarkan di atas, tidak lahir begitu saja, tetapi perlu diupayakan bersama oleh semua komponen dalam masyarakat.
Untuk itu,  pengurus masjid harus proaktif menggerakkan potensi jamaah dan umat dengan membuat program dakwah, majlis taklim, pembinaan remaja, dan berbagai bentuk pelayanan jamaah yang terprogram secara baik.
            Dengan kata lain, pengelolaan masjid harus dilakukan secara profesional. Profesionalitas merupakan hal yang tidak boleh ditinggalkan, dan dengan profesionalitas kita akan mampu mengembangkan dan mengimplementasikan fungsi masjid sebagaimana mestinya.

C.3  Model Program Pemberdayaan.
A. Pemberian Pinjaman
1. Penyaluran Pinjaman Kebajikan (Qordhul Hasan)
- Penyaluran pinjaman  Qordhul Hasan dengan berbasis ranting dan masjid dengan
    penerima        pinjaman merupakan komunitas yang ada di sekitar masjid di wilayah  
   BMT.
- Tiap masjid dialokasikan dengan jumlah minimal pemanfaat.
-  Dibuat sistem kelompok dengan mekanisme tanggung renteng.
- Bagi yang telah mandiri dan membutuhkan modal yang semakin besar
          diarahkan untuk dapat memanfaatkan fasilitas pembiayaan komersial dari BMT.
2. Sasaran Program
-  Warga fakir miskin disekitar wilayah masjid
-  Warga disekitar masjid yang memiliki usaha mikro.
3. Tujuan penggunaan
-  Untuk kebutuhan modal usaha yaitu modal kerja maupun pembelian peralatan kerja.
- Untuk kebutuhan biaya pendidikan.
- Untuk kebutuhan biaya pengobatan.
- Dana talangan untuk perbaikan sarana dan prasarana ibadah atau umum
4. Sistem dan prosedur
- Memiliki kebutuhan sesuai tujuan program
     - Memiliki tanda pengenal (KTP) sebagai warga masjid
- Tidak memiliki pinjaman di lembaga lain.
- Mengajukan permohonan kepada BMT
- Menyetujui berbagai persyaratan yang ditentukan, seperti aktif dalam kegiatan kelompok  
   pengajian, jangka waktu pembiayaandan besarnya angsuran.
- Bersedia membayar kembali secara teratur sesuai perjanjian.
- Bersedia membuka tabungan di BMT sebagai cadangan pemupukan modal yang    
  bersangkutan.
5. Pengelolaan
- Prinsip pengelolaan Qordhul Hasan berbasis Masjid adalah merupakan kolaborasi antara  
  BMT dengan UPZ Masjid
- sebagai Account Officer Pinjaman Qordul Hasan Berbasis Masjid.
- Analisis / verivikasi dilakukan oleh Account Officer yang berlokasi di sekitar masjid
  pemohon
- Angsuran dapat dilakukan melalui kantor BMT atau lewat koordinator di UPZ atau  
  melalui    Account Officer yang menjadi pengelola program untuk yang bersangkutan.
-  Bila terjadi ketidaklancaran pembayaran, maka Kelompok akan ikut mengusahakan 
   penagihannya.
-    Bila yang bersangkutan benar-benar tidak mampu membayar, maka
 UPZ akan memberi zakat kepada yang bersangkutan untuk membayar pinjaman Qardhul  
   Hasan kepada BMT



C.    Program Dana Pembiayaan Usaha Mikro
C.1. Definisi
Yaitu sekelompok orang (pengusaha mikro) yang berhimpun dalam sebuah komunitas, dibentuk oleh BMT atau LAZ disekitar masjid  untuk mendapatkan program pemberdayaan ekonomidari dana Pemda atau zakat  dengan sistem pendampingan yang intensif, komprehensif dan terpadu.
Usaha mikro dalam konteks BMT/LAZ  adalah usaha yang bersifat menghasilkan pendapatan dan dilakukan oleh rakyat miskin atau mendekati miskin. Dengan demikian Pengusaha Mikro adalah mereka yang dikategorikan sebagai mustahik dan memiliki usaha (perniagaan).
Setiap anggota BMT/LAZ  akan mendapatkan pembiayaan modal usaha, mengikuti proses pendampingan usaha, serta aktivitas pemberdayaan lainnya dari BMT/LAZ.
C.2. Tujuan
Program ini  bertujuan mewujudkan kehidupan anggota, keluarga dan masyarakat yang selamat, damai dan sejahtera melalui pengelolaan komunitas yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar saling tolong menolong, budaya kerja produktif, dan semangat menabung untuk mengembangkan usaha.
C.3. Sasaran
Komunitas mustahik yang berada dalam sebuah wilayah dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Masuk dalam kategori mustahik (miskin : memiliki penghasilan/aset di bawah standar nishab zakat)
  2. Memiliki usaha (perniagaan berskala mikro yang sdg berjalan)
C.4. Program
  1. Bantuan Modal dengan sistem dana bergulir
  2. Pendampingan Usaha
  3. Pengembangan dan penguatan skill usaha
C.5. Tahapan Program
1.      Assessment Calon Peserta
2.      Analisa Kelayakan Usaha
3.      Pengguliran Dana
4.      Monitoring
5.      Pengembalian Dana
6.      Pendampingan Usaha
7.      Evaluasi
C.6. Assessment
Proses pengidentifikasian kebutuhan dan potensi yang ada dalam masyarakat (komunitas sasaran) dengan kegiatan:
  1. Survey Wilayah (himpun data Demografi)
    1. wilayah Kelurahan
    2. wilayah RW
  2. Assessment calon peserta (himpun data keluarga & usaha)
  3. Focus Group Discussion
  4. Analisa Kelayakan Usaha
Hal-hal yang menjadi bahan penilaian kelayakan usaha:
1.      Perencanaan Usaha (biaya produksi, kapasitas, keuntungan, lokasi usaha, dll)
2.      Payback Period usaha peserta
  1. Penetapan Peserta
C.7. Pengguliran dana & Pengembalian
Prinsip-prinsip pengguliran dana:
  1. Tujuan dipilihnya kegiatan dana bergulir adalah untuk menanggulangi kemiskinan. Oleh karenanya harus menjangkau warga masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran utama bmm.
  2. Pengelolaan dana bergulir berorientasi kepada proses pembelajaran untuk penciptaan peluang usaha dan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat miskin, serta kegiatan-kegiatan produktif lainnya
  3. Prosedur serta keputusan pemberian dana bergulir harus mengikuti prosedur pemberian dana bergulir yang standar
  4. Pendamping program dana bergulir harus orang yang mempunyai kemampuan dan wawasan tentang pembiayaan mikro
  5. Program pinjaman bergulir akan dilengkapi dengan sistem pembukuan yang standar serta sistem pelaporan keuangan yang memadai;
C.8. Monitoring
Monitoring merupakan penilaian (assessment) yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan atas pelaksanaan suau kegiatan/program. Tujuannya untuk menilai kemajuan suatu program berdasarkan periode waktu tertentu. Jangka waktu pelaksanaannya dilakukan sepanjang tahap pelaksanaan/implementasi programdengan tujuan:
  1. Untuk mengetahui apakah program berjalan dengan baik sesuai dengan rencana.
  2. Untuk mengetahui masalah yang dihadapi dan solusi untuk memperbaikinya.
  3. Untuk memberikan umpan balik mengenai kemajuan program.
  4. Untuk memperbaiki rencana program selanjutnya.
  5. Untuk mendapatkan informasi untuk evaluasi dampak.
Hal-Hal yang dievaluasi:
  1. Keuangan
  2. Sumber daya manusia:
    1. Peserta program
    2. Pendamping
  1. Waktu
  2.  Kegiatan
C.9  Pendampingan Usaha
Tugas-Tugas pendampingan
  1. Menemukan potensi dan keterampilan mustahik sehingga mampu dikembangkan menjadi bisnis / usaha mikro.
  2. Membantu mustahik merancang usaha mikro yang disertai analisis kelayakan usaha dan rencana bisnis yang sistematis.
  3. Membimbing dan mendampingi mustahik menjalankan usahanya sehingga mencapai tujuan yang mampu mensejahterakan mustahik.
  4. Melakukan monitoring terhadap aktivitas usaha dan perkembangan usaha peserta program.
  5. Memonitor perubahan sikap peserta program.
  6. Melaporkan hasil monitoring kepada BMT/LAZ
C.10. Persiapan Pelaksanaan Program
  1. Hal pertama yang harus dilakukan saat akan memulai program ini  adalah mendapatkan lokasi / wilayah sasaran dengan profil sebagai berikut:
·         berlokasi di rural area
·         termasuk dalam kategori wilayah miskin
a.       pendapatan rata-rata penduduk di bawah Rp 2.000.000,-
b.      kondisi fisik lingkungan termasuk dalam kategori pemukiman padat dengan kualitas sanitasi di bawah standar kesehatan.
·         masyarakatnya  rata-rata berprofesi sebagai pengusaha mikro
  1. Setelah menetapkan wilayah, tahap selanjutnya adalah mendapatkan informasi lokasi-lokasi komunitas masjid di wilayah tersebut.
Guna mendapatkan informasi tentang komunitas masjid, dapat melakukan beberapa hal berikut:
    1. menghimpun data sekunder dari kelurahan (data demografi)
    2. meminta informasi dari kawan atau kerabat
  1. setelah mendapatkan data base bakal lokasi program (masjid), lakukan kunjungan silaturahim kepada pengurus masjid. Kunjungan ini bertujuan untuk mengetahui ketersediaan pra kondisi sebagai salah satu faktor kelayakan wilayah sasaran.  Adapun pra kondisi dimaksud diantaranya:
    1. soliditas pengurus masjid sangat baik
    2. jamaah masjid masing-masing terkoneksi satu sama lain ( bisa karena ikatan kepengurusan masjid, majlis taklim atau RT/RW)
    3. intensitas kegiatan ummat yang dilakukan di masjid sangat tinggi
    4. keberadaan sasaran (calon peserta) program. Minimal 50% jamaah sholat terdiri dari pengusaha mikro.
    5. sikap masyarakat  terhadap program-program ekonomi yang diinisisasi dari pihak luar sangat positif (bukan dari lingkungan masyarakat).
    6. kesediaan pengurus masjid untuk membantu proses inisiasi program.
  2. jika pra kondisi yang diharapkan terdapat di lokasi masjid, maka dapat dilakukan langkah selanjutnya yaitu berkoordinasi dengan pengurus Masjid  guna mempersiapkan proses assessment .




DAFTAR PUSTAKA

Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.

Manan, Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Terj. M. Nastangin, (Yogyakarta, Dana Bhakti Wakaf, 1997)

Mustafa Edwin Nasution, Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah.

Tim Institut Manajemen Zakat, Profil 7 BAZDA Propinsi dan Kabubaten Potensial di   
Indonesia, Jakarta: PT Mitra Cahaya Utama, 2006.

www. Bimasislam.depag.co.id




                                                        


[1] Sejarah menunjukkan, bahwa saat Islam masuk ke Nusantara, zakat sudah menjadi urat nadi pemberdayaan masyarakat muslim. Ia telah dipraktekkan oleh masyarakat muslim Indonesia sebagai salah satu sumber dana bagi penyebaran ajaran-ajaran Islam saat itu. Sehingga penyebaran ajaran agama menjadi efektif, kaerena tertopang oleh pendanaan dari zakat. Lihat: Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Waka, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1988) hlm 32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar