Sebagian orang cenderung ‘alergi’ dengan istilah filsafat. Hal ini langsung atau tidak tentu ada kaitannya dengan kritikan pedas Imam Ghazali dalam kitab Tahafut al Falasifah (Kerancuan Filsafat) kepada para filsuf. Namun kalau diteliti secara seksama isi kitab tersebut, kritik Al Ghazali itu sebenarnya tertuju pada filsafat teologi (ilmu kalam) yang merupakan cabang dari filsafat agama (philosophy of religion)
Bukan filsafat yang lain.[1] Dan bukan pada filsafat itu sendiri. Karena filsafat itu pada dasarnya hanyalah alat. Dan setiap alat bersifat netral. Ini perlu ditekankan di sini supaya kita tidak salah kaprah dan apriori pada semua yang namanya filsafat.
Secara kronologi historik asal mula kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophos, philosophi. Kata ini kemudian dipakai dalam bahasa Latin philosophia dan Prancis klasik filosofie. Lalu diadopsi dalam bahasa Inggris abad pertengahan menjadi philosophie dan kemudian philosophy. Dalam bahasa Arab diadaptasi menjadi falsafah (jamak, falasifah) dan dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai filsafat atau filosofi. Yang artinya cinta kebijakan (love of wisdom).[2]
Setidaknya ada 8 makna filsafat secara terminologis (istilah). Namun yang paling relevan dengan tulisan ini adalah “a set of ideas or beliefs relating to a particular field or activity; an underlying theory” (ide pokok yang menjadi landasan suatu aktifitas atau keilmuan tertentu). [3] Dengan definisi ini, ketika dikatakan “filsafat pendidikan Islam”, maka maksudnya adalah apa saja kerangka ide utama suatu sistem pendidikan itu disebut Islami atau berada dalam koridor keislaman. Dan apa tujuan utama dari suatu sistem pendidikan Islam. Tulisan singkat ini hanya akan menggarisbawahi sejumlah filosofi pendidikan Islam di mata kalangan edukator muslim berpengaruh, baik yang klasik maupun kontemporer.
Pendidikan Islam ideal, kata Wan M. Nor Wan Daud, harus meliputi dua kategori ilmu tradisional, dan hubungan hirarki keduanya.[4] Yakni ilmu wahyu yang dapat dicapai melalui ilmu-ilmu agama (QS At Taubah 9:122). Dan ilmu umum yang dapat digali melalui ilmu rasional, intelektual dan filosofis. (QS Ali Imron 3:190).
Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa dalam konsep tauhid, ilmu bersifat holistik (menyeluruh). Tidak ada pembagian ilmu menjadi ilmu agama dan ilmu umum. Karena kedua tipe keilmuan itu sama-sama ikut berkontribusi dalam memperkuat iman. Ilmu agama memperkuat keimanan melalui wahyu sementara ilmu umum melalui kajian ilmu humanitas dan alam secara sistematik dan seksama.[5]
Syed Muhammad Naguib al-Attas menyebut pendidikan Islam sebagai ta’dib (dari kata, adab). Dia mendefinisikan istilah ini sebagai kedisiplinan fisik, pikiran dan jiwa yang memungkinkan manusia untuk mengenal dan mengakui posisi yang pantas dalam hubungannya dengan dirinya, keluarganya dan komunitasnya. Kepantasan posisi atau derajat seseorang adalah berdasarkan pada kriteria intelektual, ilmu dan kesalihan (ihsan). Dengan pengertian ini, adab adalah refleksi kearifan (hikmah) dan kedilan (‘adl).[6]
Al Attas bukanlah “inventor” pertama yang memperkenalkan istilah adab dalam konsep pendidikan Islam. Adalah sastrawan Arab legendaris Amr bin Bahr al-Jahiz (wafat 869 M) yang mempopulerkan istilah ini pertama kali. Al Jahiz mengartikan adab sebagai sistem pendidikan menyeluruh dari seorang muslim yang berbudaya yang menjadikan seluruh isi dunia sebagai obyek ilmu dan rasa keingintahuan. Di mana pada gilirannya pendidikan yang holistik akan memengaruhi perkembangan moral seseorang ke arah yang lebih baik.[7]
Pandangan serupa juga diungkapkan oleh seorang edukator muslim asal Turki Fethullah Gülen. Menurutnya filsafat pendidikan Islam adalah sistem pendidikan holistik, menyeluruh dan tidak terpisah—antara ilmu agama dan ilmu umum– yang bertujuan untuk memperkaya pemikiran spiritual dan kritis baik bagi laki-laki dan perempuan. Bagi Gulen, pendidikan adalah alat untuk melatih jiwa dan raga dalam rangka melaksanakan kehendak Allah di muka bumi. Menurutnya pelatihan yang tepat dari seluruh aspek kondisi manusia akan membuahkan hasil yang holistik bagi seseorang baik secara spiritual, moral, rasional dan psikologis.[8]
Gulen tidak sependapat adanya garis pemisah antara ilmu agama (religious sciences) dan ilmu umum (secular sciences). Pemisahan ilmu menjadi ilmu agama dan ilmu umum adalah pandangan tidak holistik atas ilmu Allah. Dia menyadari pentingnya menguasai ilmu-ilmu sains dan menekankan bahwa tak ada pemisahan kognitif antara kebenaran spiritual dan penelitian saintifik, dan oleh karena itu dia meyakini bahwa tidak ada ketidakcocokan (disharmoni) antara prinsip-prinsip Islam dan metodologi saintifik.[9]
Dari pandangan sejumlah edukator muslim di atas, dapat digarisbawahi bahwa filosofi atau kerangka besar (grand design) pendidikan Islam memiliki beberapa tujuan dasar penting sebagai berikut, pertama, bahwa pendidikan bertujuan untuk mendidik raga, pikiran dan jiwa untuk semakin bertakwa dan beriman kepada Allah yang pada gilirannya akan tergambar pada perilaku salih (ihsan) dan arif (hikmah) serta adil. Dengan demikian, seluruh proses belajar mengajar dan pelatihan harus mengarah ke tujuan peningkatan keimanan tersebut.
Kedua, dalam konsep tauhid ilmu agama dan ilmu umum bukanlah sesuatu yang berbeda karena keduanya sama-sama ilmu Allah dan dapat berpotensi sebagai alat untuk meningkatkan keimanan dan pengembangan kepribadian moral, spiritual dan psikologis.
Ketiga, bahwa kriteria yang pantas bagi seseorang untuk menempati suatu posisi hendaknya berdasarkan pada tiga elemen yaitu intelektual, ilmu dan kesalihan. Dan ini harus menjadi kesadaran inheren anak didik sejak dini.
Para pendidik hendaknya merevisi kembali sistem dan kurikulum pendidikannya, apabila ternyata hasil dari proses pendidikan tidak memenuhi tiga prinsip pendidikan Islam di atas. Terutama saat keilmuan yang diperoleh tidak membuat perbaikan dari segi moral dan spiritual anak didik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar